ORANG ISLAM YANG BOLEH TIDAK PUASA



ORANG ISLAM YANG DIPERBOLEHKAN TIDAK PUASA
Oleh: Afif Mustain

Puasa menurut istilah ulama’ fiqh adalah menahan diri dari segala yang membatalkan puasa sehari penuh mulai dari terbit fajar shadiq hingga terbenam matahari dengan syarat-syarat tertentu. Sedangkan menurut istilah syar’i adalah  menahan diri dari keinginan syahwat, mulai terbit fajar hingga terbenam matahari disertai niat puasa.[1] Puasa ramadhan hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap muslim dan mukallaf. Berdasarkan firman Allah didalam surat al-baqarah  ayat 183.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ١٨٣
183. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa
      orang islam ada yang tidak wajib untuk melaksanakan puasa bagi orang-orang yang tidak sanggup puasa yaitu:
1.      Wanita hamil dan orang yang sedang menyusui
      Ibnu Hazm meriwayatkan dari Hammad ibnu salam dari ayyub dari nafi’ bahwa seorang perempuan quraisy yang sedang hamil bertanya kepada ibnu ummar, tentang hal puasanya, maka ibnu Ummar menjawab: ”berbukalah kamu dan beri makanlah setiap orang miskin, tidak usah mengqadhanya”.
Diriwayatkan oleh Ahmad dari anaas ibnu malik al-ka’bi bahwa Rasulullah saw bersabda:
“sesungguhnya Allah telah mencabut tugas puasa dari seorang musaffir dan mengurangkan rakaat sholat dan tugas puasa dari perempuan hamil dan yang sedang menyusui”.
      Hadits ini menyatakan bahwa perempuan yang sedang menyusui anak dan sedang hamil boleh berbuka. Fuqaha mengatakan bahwa apabila si murdhi’ah (perempuan yang menyusui anak) takut atas radhi’nya (anak yang sedang menyusuinya) dan si hamil atas kandungannya maka wajiblah ia berbuka.
2.      Orang yang sudah sangat tua
      Ad-daruquthni dan Al-hakim meriwayatkan dari ibnu Abbas bahwa beliau berkata: ”Orang yang telah sangat tua, dibenarkan berbuka dan memberi fidyah, terhadapnya tidak ada qadha’.”
      Diberikan oleh Abu Daud bahwa Ibnu Abbas berkata, “dibolehkan bagi lelaki dan perempuan yang sukar mengerjakan puasa, berbuka dan memberi fidyah sehari seorang miskin. Demikian jugalah perempuan yang hamil atau menyusui anaknya, apabila takut terganggu kesehatannya.”
3.      Para pekerja berat
      Syayid Rasyid ridhan dalam al-mannar mengatakan baahwa disamakn dengan orang yang sangat tua, perempuan hamil dan orang sakit bertahun-tahun yang tidak dapat diharap sembuh lagi, orang yang mencari penghidupan dengan bekerja berat, sepert orang yang bekerja dipertambangan.
      Muhammad Abduh mengatakan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang sangat sukar berpuasa dalam surat al baqarah ayat 184 ialah orang-orang tua yaang lemah, orang-orang yang sakit yang tidak dapat diharapkan sembuh lagi dan seumpamanya, seperti buruh-buruh yang mencari penghidupan dengan pekerja berat lagi sulit mengeluarkan orang atau batu dari tambang, termasuk juga narapidana dengan hukuman bekerja berat daan terus menerus. Apabila mereka tidak sanggup berpuaasaa mereka memberi fidyah. Jadi, orang yang berpuasa menanggung kesukaran lebih dari pada biasa, boleh berbuka dan wajib memberi fidyah, sehari seorang miskin
      Barang siapa berkewajiban meng-qadha’ puasa Ramadhan karena membatalkannya secara sengaja, atau karena suatu sebab dari beberapa sebab terdahulu, maka ia berkewajiban meng-qadha’ sebagai pengganti hari-hari yang ia batalkan dan ia qadha’ pada masa yang diperbolehkan melakukan puasa sunnah. Jadi tidak dianggap mencukupi meng-qadha’ puasa Ramadhan pada hari-hari yang dilarang berpuasa padanya. Seperti hari raya, baik idul fitri maupun idul adha’. Juga tidak dianggap mencukupi pada hari-hari yang memang ditentukan untuk berpuasa fardhu, seperti bulan ramadhan yang sedang tiba waktunya, hari-hari nazar yang ditentukan, misalnya ia bernazar akan berpuasa sepuluh hari diawal bulan bulan Dzulqo’dah. Jadi meng-qadha’ puasa ramadhan pada hari-hari itu tidak bisa dinilai mencukupi. Sebab telah ditentukan untuk nazar. Demikianlah menurut kalangan ulama Malikiyah dan Syafi’iyyah.
      Begitu juga tidak bisa mencukupi melakukan qadha’ pada bulan Ramadhan yang sedang tiba saatnya. Sebab bulan tersebut ditentukan untuk menunaikan kewajiban puasa secara khusus. Jadi tidak bisa untuk dibuat melakukan puasa selainnya. Melakukan puasa qadha’ dianggap sah pada hari syak, karena pada hari itu melakukan puasa sunnah dianggap sah. Ketentuan meng-qadha’ ialah dengan cara mengikuti jumlah puasa yang terluput(tertinggal), bukan mengikuti hilal atau tanggal bulan. Jadi kalau seseorang meninggalkan puasa selama 30 hari atau sebulan penuh, maka ia harus meng-qadha(berpuasa) selama 30 hari juga. Jika dalam bulan yang ia puasa tersebut ada 29 hari, maka ia harus menambah 1 hari lagi.
      Bagi yang mempunyai kewajiban meng-qadha’ puasa disunnahkan untuk segera meng-qadha’ puasanya. Disunnahkan juga agar dilakukan secara berturut-turut dalam melakukannya. Dan berkewajiban juga meng-qadha’ secara segera apabila Ramadhan yang selanjutnya akan segera tiba. Barang siapa mengundur-undur qadha’ hingga bulan Ramadhan keduanya tiba maka ia berkewajiban membayar fidyah sebagai tambahan atas kewajiban meng-qadha’. Yang dimaksud fidyah ialah memberi makanan orang miskin untuk setiap hari dari hari-hari qadha’. Ukurannya ialah sebagaimana yang diberikan kepada orang miskin dalam kifarat.
      Cara mengeluarkan Fidyah ialah satu cupak makanan asasi tempatan yang disedekahkan kepada fakir miskin mewakilli satu hari yang tertinggal puasa Ramadhan padanya. Makanan asasi masyarakat Indonesia adalah beras, maka wajib menyedekahkan secupak beras kepada fakir miskin bagi mewakili sehari puasa. Ukuran secupak beras secara lebih kurang sebanyak 670 gram. Contohnya sifulan telah meninggalkan puasanya sebanyak 5 hari, maka dia wajib membayar Fidyahnya sebanyak 5 cupak beras kepada fakir miskin.. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 184:
2:184

 “(Puasa Yang Diwajibkan itu ialah beberapa hari Yang tertentu; maka sesiapa di antara kamu Yang sakit, atau Dalam musafir, (bolehlah ia berbuka), kemudian wajiblah ia berpuasa sebanyak (hari Yang dibuka) itu pada hari-hari Yang lain; dan wajib atas orang-orang Yang tidak terdaya berpuasa (kerana tua dan sebagainya) membayar Fidyah Iaitu memberi makan orang miskin. maka sesiapa Yang Dengan sukarela memberikan (bayaran Fidyah) lebih dari Yang ditentukan itu, maka itu adalah suatu kebaikan baginya; dan (Walaupun demikian) berpuasa itu lebih baik bagi kamu daripada memberi Fidyah), kalau kamu mengetahui.” (Al-Baqarah : 184)
Fidyah dikenakan kepada orang yang tidak mampu berpuasa dan memang tidak boleh berpuasa lagi. Maka dengan itu Islam telah memberikan keringanan (rukshoh) kepada mereka yang tidak boleh berpuasa dengan cara membayar Fidyah yaitu memberikan secupak beras kepada orang fakir miskin. Begitu juga kepada orang yang meninggalkan puasa dan tidak menggantikan puasanya sehingga menjelang puasa Ramadhan kembali (setahun), maka dengan itu mereka dikehendaki berpuasa dan juga wajib memberikan secupak beras kepada fakir miskin. Begitu juga pada tahun seterusnya. Fidyah akan naik setiap tahun selagi mana orang tersebut tidak menggantikan puasanya.



[1] Muhammad Ash-shiddieqy, pedoman puasa, PT. Pustaka rizki putra: Semarang, 2009. Hal. 433.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AWAL MULA PERMAINAN FUTSAL