PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUH TENTANG PENDIDIKAN
PEMIKIRAN
MUHAMMAD ABDUH TENTANG PENDIDIKAN
Oleh:
Afif Mustain
Muhammad Abduh
dilahirkan pada tahun 1849 M (1265 H) di Mahallah Nasr, suatu perkampungan
agraris termasuk Mesir Hilir di propinsi Gharbiyyah.[1]
Ayahnya bernama Abduh bin Hasan Chairullah, seorang berdarah Turki, sedangkan
ibunya Junainah binti Utsman al-Kabir mempunyai silsilah keluarga besar keturunan
Umar bin Khattab.[2]
Kedua orang tua Beliau hidup dalam masa regim Muhammad Ali Pasya.
Sampai usia 10 tahun
Beliau dididik dalam lingkungan keluarga sendiri terutama mengenai membaca dan
menulis. Setelah itu sang ayah mengirimnya kepada seorang hafidz untuk
belajar Qur’an dan hanya dalam tempo dua tahun beliau sudah berhasil
menghafalkannya. Studinya tentang Qur’an ini kemudian dimantapkannya di masjid
Ahmadi kota Thanta yang tekenal mempunyai spesialisasi dalam kajian Qur’an.
Disini pula beliau mulai mempelajari
ilmu-ilmu tradisional seperti ilmu tata bahasa dan fiqh.
Ada hal yang kurang
berkenan di hatinya perihal pelaksanaan pengajaran di masjid tersebut, Abduh
merasa tidak mendapatkan sesuatu karena metode yang dipakai hanya mementingkan
hafalan saja, tidak diikuti dengan pemahaman. Karena kecewa maka ia memutuskan
untuk pulang kembali ke Nasr. Berkat bimbingan dari Syeikh Darwisy, paman ayahnya, beliau mulai tertarik
mengkaji disiplin keislaman. Pengalamannya bersama Syeikh Darwisy amat
mengesankan bagi Muhammad Abduh, sehingga kecintaannya pada ilmu pengetahuan
mulai berkembang. Akhirnya iapun kembali belajar di Thanta.
Selanjutnya mulai
tahun 1866, Muhammad Abduh memasuki Universitas al-Azhar di Chairo. Sama dengan
pengalaman awalnya di Thanta, di sinipun ia merasa kecewa pada sistem
pengajarannya yang cenderung verbalitas dan dogmatis. Murid tidak
lebih hanya disuruh menghafal dan
menerima materi-materi yang diberikan gurunya. Setelah kembali berkonsultan
dengan Syeikh Darwisy, Muhammad Abduh disarankan untuk mempelajari
disiplin-disiplin lain seperti logika, matematika, dan filsafat. Lewat salah
seorang ulama bernama Hasan at-Thawil. Kajian-kajian yang demikianlah ini
sangat membantu pengembangan berfikir Abduh.
Pengaruh intelektual
paling besar pada Muhammad Abduh terjadi setelah beliau bertemu Sayyid
Jamaluddin al-Afghani.[3]
Al-afghani datang ke Mesir pada tahun 1871 dan sejak saat itu Muhammad Abduh
sangat antusias mengikuti kuliah dan ceramah-ceramah yang diberikannya. Secara
pribadi Muhammad Abduh banyak belajar dari al-Afghani terutama dalam bidang
filsafat, logika, ilmu kalam serta wawasan sosial dan politik. Lebih jauh,
Muhammad Abduh mulai dapat mengembangkan pemikirannya dengan menuangkan ide dan
pemikirannya di media massa.
Meskipun Muhammad
Abduh aktif mencari pengetahuan dan wawasan di luar, namun beliau tetap
berkonsentrasi menyelesaikan studinya di al-Azhar. Pada tahun 1877 Beliau
berhasil lulus dari al-Azhar dengan mendapat gelar kesarjanaan alim,
suatu prestasi yang memberinya hak untuk mengajar di Universitas ini.
Suatu pengalaman yang
tidak terlupakan dalam pengalaman Abduh selama mengikuti kuliah di al-Azhar
adalah kesannya pada saat melaksanakan ujian akhir yang hampir membuatnya tidak
lulus. Sebagian besar anggota tim penguji adalah ulama-ulama garis
tradisi-onalis yang kurang simpati pada Muhammad Abduh mengingat pemikirannya
selama ini banyak dinilai keluar dari mainstream umum yang berkembang di
al-Azhar. Mereka ini bermaksud tidak meluluskan Muhammad Abduh. Hanya saja
dalam pelaksanaan ujian itu Muhammad Abduh ternyata berhasil mempertahankan
pendapatnya dengan argumen yang menyakinkan dan dapat menjawab semua pertanyaan
yang diajukan. Ketika beberapa anggota penguji tetap hendak tidak meluluskan,
ternyata itu tidak didukung oleh sebagian lainnya. Akhirnya proses kelulusannya
ini sampai melibatkan rektor yang waktu itu dipegang oleh Syeikh Muhammad
al-Abbasi. Keputusan rektor ternyata meluluskannya dan diberi peringkat darajah al-itsani
(amat baik).
Ketika ia mulai
dikenal di kalangan luas, pemerintahpun memanfaatkan kepandaiannya dengan
mengangkat abduh sebagai dosen tetap di Universitas Dar al-Ulum dan perguruan
bahasa Khedevi pada tahun 1879. Di sini Beliau mengajar ilmu kalam, sejarah, ilmu
politik dan kesusasteraan arab. Sama seperti di al-Azhar, dalam mengajar
Muhammad Abduh menggunakan metode diskusi untuk dapat mempercepat proses
transformasi intelektual para anak didiknya. Lebih dari itu juga diharapkan
para mahasiswa tanggap dengan situasi sosial-politik yang sedang berkembang dan
perlu mengoreksi terhadap penyimpangan yang dilakukan baik oleh masyarakat
maupun oleh pemerintah. Karena yang terakhir ini berbau poltis, maka Khedevi
Taufiq Pasha memberhentikan Muhammad Abduh dari tugas mengajar di dua perguruan
tinggi pemerintah tersebut serta dipulangkan ke desa tempat kelahirannya.
Pada tahun 1880
beliau diperbolehkan kembali ke Mesir, berkat usaha perdana menteri Riyad
Pasya. Lebih beruntung lagi, perdana menteri ini telah mengangkat Muhammad
Abduh menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintah Mesir, yaitu Al-Waqai
al-Misriyyah. Melalui surat kabar ini, Muhammad Abduh kiranya mendapat
kesempatan lebih leluasa untuk mengkritik pemerintah dengan artikel-artikelnya
yang berbicara tentang agama, sosial, politik dan kebudayaan. Media ini secara
otomatis telah membawa Muhammad Abduh untuk bermain politik secara praktis,
bukan lagi teoritis.[4]
Permainan ini pada giliranya telah membuat Muhammad Abduh diasingkan ke Beirut
dan kemudian ke Paris, karena dituduh terlibat dalam pemberontakan Urabi Pasya
tahun 1882 M. Peristiwa ini kirannya tidak menjadikan Muhammad Abduh jera.
Justru di Paris beliau lebih bersemangat lagi melakukan gerakan politiknya.
Kali ini aksinya ditujukan bukan hanya kepada pemerintah Mesir, tapi juga kaum
muslim di seluruh dunia.
Muhammad Abduh
bersama al-Afghani telah menerbitkan majalah Al-‘Urwah al-Wusqa. Ide
pokok pendirian majalah ini adalah membangkitkan semangat kaum muslim untuk
melawan kekuasaan kaum penjajah (Barat). Pada tahun 1884 M, Muhammad Abduh
kembali ke Beirut. Dikota ini, tampaknya
Beliau lebih banyak terlibat dalam kegiatan pengajaran dan
tulis-menulis. Satu karya Monumental Muhammad Abduh yang dihasilkan selama
berada di Beirut ini adalah bukunya, Risalah al-Tauhid.
Masa pengasingan
Muhammad Abduh berakhir pada tahun 1888 M dan pada masa ini pula ia
diperkenankan kembali ke Mesir. Kali ini Abduh tidak dibolehkan mengajar di
al-Azhar. Pemerintah Mesir merasa khawatir bahwa Muhammad Abduh akan dapat
memengaruhi mahasiswanya. Sebagai gantinya, Muhammad Abduh diangkat menjadi
hakim pada salah satu pengadilan di Mesir. Kemudian pada 1894, beliau diangkat
menjadi anggota Majlis A’la al-Azhar. Dalam kedudukan ini, Muhammad
Abduh kiranya telah banyak melakukan perubahan dan perbaikan bagi Universitas
al-Azhar. Pada perkembangan selanjutnya, beliau diangkat menjadi Mufti besar
Mesir pada tahun 1899 menggantikan Syeikh Hasunah al-Nadawi. Jabatan agung ini
dipegangnya sampai saat meninggal dunia pada tanggal 11 juli 1905 di Kairo.[5]
A.
Corak Pemikiran Muhammad Abduh
Dalam rangka
merumuskan dan merespons terhadap tantangan barat dan dunia modern, para
pembaru kiranya telah menggunakan berbagai pendekatan yang berbeda-beda.
Muhammad Abduh dalam hal ini kiranya telah menggunakan pendekatan
identifikatif, selain juga menggunakan pendekatan apologetik.[6]
Pendekatan
identifikatif Muhammad Abduh tampak dari
esensi pemikirannya, yaitu merumuskan kembali pemikiran dan revitalisasi
masyarakat muslim melalui identifikasi gagasan dan institusi-institusi modern.[7]
Adapun pendekatan apologetiknya terlihat dari upayanya untuk tetap
mempertahankan eksistensi doktrin islam sebagai landasan utamanya. Dalam pada
itu, Marcel A. Boisard menyatakan bahwa pendekatan pembaruan yang digunakan
Muhammad Abduh didasarkan pada dua postulat.[8] Pertama,
Muhammad Abduh telah menekankan perlunya peran agama bagi kehidupan manusia,
yang secara mutlak merupakan wahyu yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits.
Kedua, Muhammad Abduh
telah menekankan perlunya penggunaan bagian terbaik dari peradaban barat yang
telah mencapai kemajuan. Islam adalah agama yang sesuai akal dan akan
senantiasa tidak menolak kemajuan. Dengan kedua postulat ini, Muhammad Abduh
tampaknya berupaya membela islam sebagai doktrin, dan sekaligus memadukannya
dengan kemajuan modern sebagai hasil rekayasa akal. Sikap kreatif dan pro-aktif
yang ditonjolkan Muhammad Abduh dalam rangka menghadapi peradaban barat ini
merupakan bukti bagi pendekatan identifikatif-apologetik yang digunakannya.
Muhammad Abduh sebenarnya bermaksud menegaskan bahwa islam adalah agama
rasional yang dapat menjadi dasar bagi kehidupan modern. Tak ada konflik antara
islam dengan prinsip-prinsip peradaban modern, sekalipun pada akhirnya islam
harus meluruskan peradaban ini dari noda-noda yang mencemarinya.
Dengan pendekatan
identifikatif-apologetik yang telah dipilihnya, corak atau tipologi pemikiran
pembaruan Muhammad Abduh terbagi ke dalam tiga kelompok. Kelompok pertama
menyatakan bahwa Muhammad Abduh adalah seorang modernis. Menurut Rahman,
seorang modernis biasanya memiliki
beberapa ciri, di antaranya selalu berusaha menghadapi segala situasi dengan
penuh keyakinan, gerakannya bersifat kerakyatan dan senantiasa melibatkan
pemikiran pribadi.[9]
Muhammad Abduh selaku modernis telah menyikapi peradaban barat modern dengan
selektif dan kritis. Dia senantiasa menggunakan prinsip ijtihad sebagai
metode utama untuk meretas kebekuan pemikiran kaum muslim. Nilai-nilai dan
gagasan tertentu yang lahir dari peradaban barat, seperti demokrasi, prinsip
persamaan dan kemerdekaan serta konsep negara-bangsa diterima Muhammad Abduh
dengan bingkai islam.
Kelompok kedua
menyebutkan bahwa mauhammad abduh adalah seorang pembaru yang corak
pembaruannya bersifat reformistik-rekontruktif. Dalam pandangan assaukanie,
Muhammad Abduh senantiasa melihat tradisi dengan perspektif pembangunan
kembali. Agar tradisi suatu masyarakat dapat tetap survive dan dapat terus
diterima, ia harus dibangun kembali, atau dengan istilah lain i’adah
al-bunyat min jadid. Pembangunan kembali ini tentunya dengan kerangka
modern dan prasyarat rasional.
Adapun kelompok
ketiga beranggapan bahwa Muhammad Abduh adalah seorang pembaru yang
konservatif. Dalam pandangan watt, gerakan pembaruan yang diinagurasikan
Muhammad Abduh sebenarnya bersifat konservatif. Hal ini terlihat dari sikap
Muhammad Abduh yang tidak bermaksud mengubah potret diri islam. Lebih lanjut
dikatakannya bahwa Risalah al-Tauhid merupakan bukti bagi pemikiran ini.
Muhammad Abduh dalam karya ini berupaya menegaskan kembali potret diri islam
yang telah mencapai finalitas dan keunggulan.[10]
Demikian muncul ke
permukaan tiga tipologi pemikiran, yaitu Modernis, Reformis, dan Konservatif,
yang dilontarkan berkaitan dengan pembaruan yang dilakukan Muhammad Abduh.
Ketiganya kiranya merupakan refleksi dalam membaca segala pemikiran Muhammad
Abduh.
B.
Agenda Pembaruan Muhammad Abduh
Gibb dalam salah satu
karya terkenalnya, Modern Trends in Islam, menyebutkan empat agenda
pembaruan yang dicanangkan Muhammad Abduh.[11]
Berikut ini dikemukakan penjelasan keempat agenda ini.
1.
Purifikasi
Purifikasi atau
pemurnian ajaran islam telah mendapat tekanan serius dari Muhammad Abduh
berkaitan dengan munculnya bid’ah dan khurafah yang masuk dalam
kehidupan beragama kaum muslim. Menurut Muhammad Abduh, penyebab kemunduran
umat islam pada akhir abad pertengahan adalah sikap jumud. Dalam sikap
ini mengandung arti keadaan membeku, statis, berpegang teguh pada adat. Karena
dipengaruhi sikap jumud umat islam tidak menghendaki perubahan dan tidak
mau menerima perubahan.
Menghadapi keadaan
masyarakat yang jumud dan penuh khurafat tersebut, Muhammad Abduh
bangkit dengan ide kembali kepada nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an
dan Hadits, sebagai ide pemurniannya Abdul Wahab. Di samping itu perlu
memfungsikan akal secara optimal untuk mengkaji ulang terhadap ajaran islam
sehingga sesuai dengan perkembangan zaman modern.[12]
2.
Reformasi
Usaha awal Muhammad
Abduh dalam melaksanakan reformasi ini adalah memperjuangkan mata kuliah
filsafat agar diajarkan di al-Azhar. Dengan belajar filsafat, semangat
intelektualisme islam yang telah padam diharapkan dapat dihidupkan kembali.
Usaha muhammad abduh ini sebenarnya terkait dengan tekadnya untuk memerangi taqlid.
Taqlid memang dapat membuat seseorang menjadi tidak berpikir kritis, dan
itu kiranya dapat dilenyapkan dengan mempelajari filsafat.
3.
Reformulasi
Agenda reformulasi
dilaksanakan Muhammad Abduh dengan cara membuka kembali pintu ijtihad. Muhammad
Abduh dengan reformulasinya menegaskan bahwa islam telah membangkitkan akal
pikiran manusia dari tidur panjangnya. Islam telah berusaha membebaskan manusia
dari segala ikatan, terutama ikatan taqlid.
Berkaitan dengan
agenda reformulasi ini, Muhammad Abduh memandang tidak cukup dengan hanya
kembali kepada ajaran islam yang orisinil. Zaman dan suasana kaum muslim telah
jauh berbeda dengan zaman dan suasana pada masa klasik. Oleh karena itu, menurut
Muhammad Abduh, ajaran-ajaran islam perlu disesuaikan kembali dengan zaman.
Penyesuaian ini dapat mengambil pemikiran Ibn Taimiyah yang mengatakan bahwa
ajaran islam itu terbagi kepada dua bagian besar, yaitu ‘ibadah dan mu’amalah.[13]
Ajaran islam tentang ibadah bersifat tegas, jelas dan terperinci, sedangkan
ajaran islam tentang mu’amalah hanya bersifat prinsip-prinsip dasar umum, yang
memerlukan penafsiran dan penjelasan. Oleh karena itu, ia dapat disesuaikan
dengan tuntutan dan zaman. Di sinilah perlunya interprestasi baru terhadap
ajaran islam melalui ijtihad. Hanya orang-orang muslim tertentu yang
diperbolehkan melakukan ijtihad memerlukan sejumlah syarat.
4.
Pembelaan Islam
Salah satu faktor kemunduran
islam, yaitu hemegoni Barat. Satu hal yang dapat dilakukan kaum muslim dalam
menghadapi hemegoni barat ini adalah dengan tindakan defensif, yaitu
membela islam atas serangan-serangan yang dilakukan barat-kristen.
Metode dan studi
ilmiah objektif yang dibela dan dipertahankan oleh para ilmuan barat modern
diberi pengharagaan yang tinggi oleh Muhammad Abduh. Namun demikian, soal
keagamaan baginya tetap merupakan hal yang sentral, dan baahkan harus dapat
menjiwai ilmu pengetahuan. Muhammad Abduh berpendapat bahwa menerima secara
sungguh-sungguh ilmu pengetahuan merupakan semangat asli dari islam. Sebab,
hanya islam yang sanggup menggabungkan ilmu pengetahuan dengan agama. Dari sini
kiranya telah tampak sikap pebelaan Muhammad Abduh atas islam secara rasional.
Dalam hal ini, beliau telah mengarang sebuah buku yang khusus mengungkapkan
kelebihan Islam atas Barat-Kristen. Yang berjudul Al-islam wa al-Nasraniyyah
ma’a al-Ilm wa al-Madaniyyah.[14]
Menurut Yvonne
Haddad, Muhammad Abduh telah berhasil mengungkapakan delapan keunggulan Islam
atas Kristen, yaitu sebagai berikut.[15]
a)
Islam telah menegaskan bahwa menyakini keesaan Allah dan
membenarkan risalah Muhammad merupakan kebenaran inti ajaran islam.
b)
Kaum muslim telah sepakat bahwa akal dan wahyu berjalan
tidak saling bertentangan, karena keduanya berasal dari sumber yang sama.
c)
Islam sangat terbuka atas berbagai interprestasi.
d)
Islam tidak membenarakan seseorang menyeruka risalah
islam kepada orang lain, kecuali dengan bukti.islam diperintahkan untuk
menumbangkan otoritas agama, karena satu-satunya hubungan sejati adalah
hubungan manusia dengan tuhannya secara langsung.
e)
Islam melindungi dakwah dan risalah, serta menghentikan
perpecahan dan fitnah.
f)
Islam adalah agama kasih sayang, persahabatan dan mawaddah
kepada orang yang berbeda doktrinnya.
g)
Islam memadukan antara kesejahteraan dunia dan akhirat.
Beberapa keunggulan
islam yang diungkapkan Muhammad Abduh di atas secara rasional membuktikan
adanya poteret diri Islam yang perlu ditegaskan kembali. Secara otomatis,
Muhammad Abduh juga telah berhasil melakukan sikap pembelaan Islam atas
serangan-serangan yang dilakukan Barat-Kristen.
C.
Muhammad Abduh tentang Pendidikan
Menurut Rasyid Ridla,
murid Muhammad Abduh, menuturkan bahwa pendidikan bagi Muhammad Abduh bertujuan
mendidik akal dan jiwa serta mengembangkannya hingga batas-batas yang
memungkinkan anak didik mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.[16]
Dari tujuan di atas,
Muhammad Abduh tampaknya berkeinginan agar proses pendidikan dapat membentuk
kepribadian muslim yang seimbang. Pendidikan baginya bukan hanya bertujuan
mengembangkan aspek kognitif (akal) semata, melainkan juga perlu menyelaraskan
dengan aspek afektif (moral) dan
psikomotorik (keterampilan).
Muhammad Abduh dengan
agenda reformasinya tampaknya menghendaki lenyapnya sistem dualisme dalam
pendidikan Mesir. Dia telah menawarkan kepada sekolah modern agar memerhatikan
aspek agama dan moral. Dengan hanya mengandalkan aspek intelek, sekolah modern
kiranya telah melahirkan out put pendidikan yang merosot dalam moral.
Sedangkan agama, seperti al-Azhar, Muhammad Abduh menyarankan agar dirombak
menjadi lembaga pendidikan yang mengikuti sistem pendidikan modern. Sebagai
aplikasinya, beliau telah memperkenlakan ilmu-ilmu barat kepada al-Azhar,
disamping tetap menghidupkan ilmu-ilmu islam klasik yang orisinil, seperti Al-Muqaddimah
karya Ibn Khaldun. Di dalam kurikulum al-Azhar, Muhammad Abduh memeperkenlakan
ilmu dan sains modern, yang pada saat itu hanya memuat ilmu-ilmu keislaman
saja. Muhammad Abduh telah menjadikan al-Azhar sebagai laboratorium
pemikirannya yang mengajarkan ilmu pengetahuan modern, di samping juga
mempertahankan ilmu-ilmu klasik. Selain filsafat, Muhammad Abduh telah berhasil
memasukan matematika, aljabar, ilmu ukur, dan ilmu bumi ke dalam kurikulum
al-Azhar.
Di sinilah kiranya
letak urgensi pemikiran reformasi Muhammad Abduh yang diterapkan pada
lembaga-lembaga pendidikan Islam, yaitu prinsip keseimbangan dalam pendidikan.
Sekiranya hal ini dapat dilakukan, maka kaum Muslim tidak akan tenggelam lagi
dalam dunia kegelapan seperti pernah dialaminya pada abad pertengahan. Kritik
dan pemikiran Muhammad Abduh tentang pendidikan keseimbangan di atas didasarkan
pada asumsinya bahwa ilmu pengetahuan barat modern yang menekankan aspek
rasionalitas tidak bertentangan dengan ajaran islam yang mengandung aspek
spritual. Bagi Muhammad Abduh, keduanya tidak bertentangan, bahkan saling
mendukung satu sama lain.
Sumber:
Amir Aziz Ahmad, Pembaharuan Teologi Perspektif Modernisme Muhammad
Abduh dan Neo-Modernisme Fazlur Rahman, (Yogyakarta: Teras, 2009)
Nasution Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah
Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2001)
[1] Amir
Aziz Ahmad, Pembaharuan Teologi Perspektif Modernisme Muhammad Abduh dan
Neo-Modernisme Fazlur Rahman, (Yogyakarta: Teras, 2009), hal. 9.
[2]
Nasution Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
(Jakarta: PT Bulan Bintang, 2001), hal. 49.
[3]
Amir Aziz Ahmad, Pembaharuan Teologi Perspektif Modernisme Muhammad
Abduh dan Neo-Modernisme Fazlur Rahman, hal. 11.
[4]
Suharto Toto, Filsafat Pendidikan Islam, hal. 255.
[5]
Suharto Toto, Filsafat Pendidikan Islam, hal. 256.
[6]
Suharto Toto, Filsafat Pendidikan Islam, hal. 264.
[7]
Suharto Toto, Filsafat Pendidikan Islam, hal. 264.
[8]
Suharto Toto, Filsafat Pendidikan Islam, hal. 264.
[9]
Suharto Toto, Filsafat Pendidikan Islam, hal. 266.
[10]
Suharto Toto, Filsafat Pendidikan Islam, hal. 267.
[11]
Suharto Toto, Filsafat Pendidikan Islam, hal. 268.
[12]
Rusli Ris’an, Pembaharuan Pemikiran Modern dalam Islam, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2013), hal. 104.
[13]
Suharto Toto, Filsafat Pendidikan Islam, hal. 269.
[14]
Suharto Toto, Filsafat Pendidikan Islam, hal. 275.
[15]
Suharto Toto, Filsafat Pendidikan Islam, hal. 275.
[16]
Rusli Ris’an, Pembaharuan Pemikiran Modern dalam Islam, hal. 109.
Komentar
Posting Komentar